Saat Depresi Jadi Bahan Guyonan, Di Mana Empati Kita?

by
Saat Depresi Jadi Bahan Guyonan, Di Mana Empati Kita?

Berita meninggalnya Jong Hyun Shinee nggak cuma ninggalin luka mendalam bagi penikmat K-pop di seluruh dunia. Pernyataan polisi setempat tentang penyebab kematian Jong Hyun juga bikin patah hati semua orang. Polisi nyimpulin Jong Hyun meninggal karena bunuh diri yang dipicu depresi. Tentunya kesimpulan ini bikin kita semua jadi concern soal mental illness dan tekanan bunuh diri.

 

IT IS NOT A JOKE!

Sayangnya, ada beberapa pihak yang malah ngejadiin kasus Jong Hyun sebagai bahan guyonan. Dari sepengamatan Gogirl!, beberapa orang menyayangkan dua akun humor, Twitter Meme Comic Indonesia (MCI) @MemeComicIndo dan Facebook Meme Wkwkwk Land yang malah ngebikin berita duka ini jadi bahan bercandaan, dengan ngebikin meme yang sangat nggak pantes buat dibuat dan dipublikasikan, karena menganggap bunuh diri akibat depresi adalah hal yang sepele.

Penggemar K-pop pun geram atas postingan akun humor iniTri Suci Cindaryani, seorang penggemar K-pop sekaligus penerjemah bahasa Korea sampe ngajuin somasi. Pemilik akun @uch13 ini meminta pemilik akun buat minta maaf dan bertemu dia secara langsung.

Selain itu, salah satu program variety show televisi di TV swasta, Dahysat, yang tayang pada 19 Desember 2017, nampilin beberapa host yang nyinggung berita duka ini dengan nada bercanda.

Baik kedua akun humor maupun Denny Cagur selaku host Dahsyat udah minta maaf sama netizen, terutama penggemar K-pop. Admin MCI udah minta maaf lewat Facebook, sedangkan Denny Cagur udah minta maaf lewat acara Dahsyat yang tayang 20 Desember 2017.

 

EMPATI ADALAH KUNCI

Terlepas dari masih dikecam atau nggaknya akun MCI dan komedian Denny Cagur, kita bisa metik pelajaran dari fenomena ini. Penggemar K-pop atau bukan, ngebuat berita duka jadi bahan lelucon itu sama sekali nggak dibenarkan. Terlebih lagi, buat kasus Jong Hyun Shinee ini, berita dukanya berkaitan sama depresi dan keinginan bunuh diri. Sadarkah kita? Ketika mental illness kita jadikan bahan bercandaan, itu artinya kita nggak aware kalo mental illness itu beneran ada dan dialami beberapa orang tanpa mandang profesi dan popularitas penderitanya.

Ada baiknya kita tanyain lagi ke diri sendiri tentang tentang seberapa besar rasa empati yang kita milikin. Ketika ngedenger berita duka, coba kita bayangin kalo kejadian buruk itu menimpa orang-orang terdekat kita. Tentu kita nggak mau kejadian buruk itu malah dipake lelucon sama orang lain.

Soal kesadaran akan mental illness sendiri, lagi-lagi empati adalah kuncinya. Jangan sampe kita yang nggak ngalamin kayak gimana rasanya menderita mental illness kemakan stigma-stigma sosial soal tentang mental illness itu sendiri. Stigma yang biasanya ngelekat adalah kurangnya iman, kurang ibadah, sering ngelakuin perbuatan dosa, kurang ngedeketin diri sama Tuhan, dan sejenisnya. Stigma-stigma inilah yang bikin orang-orang cenderung ngediskriminasi penderita mental illness. Padahal, mental illness sendiri adalah penyakit yang bisa dijelasin dan ditanganin secara medis, dan penyebabnya bisa beda-beda bagi beberapa orang.

Menurut data World Health Organization (WHO), saat ini lebih dari 450 juta orang di dunia hidup dengan gangguan jiwa. Di Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, ada 6% dari jumlah penduduk usia 15 taun ke atas kena ganguan mental emosional, yaitu sekitar 14 juta orang. Sementara itu, orang yang kena gangguan jiwa berat kayak skizofernia 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400 ribu orang.

Di samping itu, mental illness juga nggak bisa ditanganin secara sepele. Perlu penanganan secara medis kalo seseorang udah nunjukkin gejala gangguan jiwa berat. Sayangnya, dilansir dari Tirto.id, saat ini di Indonesia baru punya sekitar 451 psikolog klinis, 773 pskiater, dan 6.500 orang perawat jiwa. Belum lagi, sebagian besar Puskesmas di wilayah Timur Indonesia belum punya psikolog, jadinya masalah kesehatan jiwa di daerah tersebut belum bisa ditanganin secara maksimal.

Selain perlunya penambahan fasilitas medis buat penderita, penanganan awal bagi orang yang kena mental illness bisa kita lakuin. Kalo ada orang terdekat yang nunjukkin tanda-tanda stress, depresi, atau frustrasi karena masalah yang dideritanya, kita nggak boleh anggep itu sepele sebagai gejala galau belaka. Jangan denial cuma karena kepikiran stigma-stigma negatif soal penderita mental illness.

Dilansir dari Jurnal Kesejahteraan Sosial Unpad, penyebab mental illness sebenernya ada dua, yaitu jasmani atau biologis dan psikologis. Faktor biologis contohnya keturunan, kegemukan, penyakit, atau cedera badan. Kalo gangguan psikologis contohnya kegagalan, keberhasilan, depresi, frustrasi, dan tekanan sosial.

Dari faktor penyebab itu kita bisa pelajarin kalo stigma sosial tentang orang yang menderita mental illness itu nggak bener. Mental illness, apalagi yang bikin penderitanya pengen bunuh diri, itu bener-bener nyata dialamin orang lain. And we souldn’t make a joke about it.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *